Laman

Sentuh/Pegang Quran tanpa Wudlu (lanjutan)

SOAL:
Berhubung dengan masalah yang tersebut di muka fashal "Menyentuh atau membaca Quran tidak perlu wudlu" dengan beralasan satu hadiets:
 
Hadiets mana menurut keterangan tuan, di isnadnya ada seorang yang lemah, begitu juga diquatkan oleh Imam Nawawi, bahwa salah satu dari rawinya ada tercela, dan hal ketidakshahnya hadiets tersebut, tuan menganggap sudah cukup, maka dengan ini saya akan bertanya:
Betulkah hadiets tersebut tidak shah, padahal di dalam Al-Quran ada ayat yang menerangkan:
Artinya: Tidak menyentuh (memegang atau beriman) kepada Al-Quran, melainkan orang-orang yang suci. (Q. Al-Waqiah 79)

Apakah ma'na dari hadiets tersebut tidak bersamaan dengan firman Tuhan itu?

Bukan maqsud saya di sini tidak menyetuui dengan keterangan yang tuan telah sebutkan di muka, tapi saya hanya minta keterangan tentang tidak shahnya hadiets itu, sedang hadiets itu seolah-olah menjadi keterangan dari firman Tuhan itu bukan?



JAWAB:
Sesungguhnya yang telah membicarakan hal menyentuh Al-Quran itu ialah tuan A.H.¹ di P.I.² No. 6 halaman 46, tetapi oleh karena saya ada bersamaan faham dengan beliau di masalah yang tersebut , jadi tiada halangan saya menjawab pertanyaan itu.

Hadiets yang nomor 1 itu artinya begini:
Tidak boleh menyentuh Quran, melainkan orang yang thahir.

Keterangan:
Hadiets ini diriwayatkan oleh imam Ad-Daraquthnie, Al-Hakim, Al-Baihaqi dari 'Amr bin Hazm, dan diriwayatkan pula oleh Imam Thabranie dari Hakim bin Hizam dengan lafazh begini:

Artinya: Telah berkata Hakim bin Hizam: Ketika Rasulullah saw. utus saya ke (negeri) Yaman, bersabda beliau kepada saya: Janganlah sekali-kali engkau menyentuh Quran melainkan (jikalau) engkau itu thahir.

Tetapi hadiets ini, dan yang sebelumnya telah terdapat pada isnadnya seorang yang bernama
Suwaid Abu Hatim, padahal dia itu telah dilemahkan oleh imam-imam Bukharie, Nasaie, Abu Zar'ah, dan berkata Imam Ibnu Hibban:
Dia itu seringkali meriwayatkan hadiets-hadiets yang palsu-palsu.

Lantaran yang semacam ini maka hadiets yang diriwayatkan dari 'Amr bin Hazm dan Hakim bin Hizam, itu semua dilemahkan oleb Imam Ibnu Hazam, Nawawi, Ibnu Katsier dan Syekh Muhyid-Dien.

Berkata Imam Al-Hafizh bin Hajar Al-Asqallani di kitabnya Talkhisul-Habir, bahwa hadiets yang tersebut itu diriwayatkan oleh Imam Daraquthnie dan Thabranie dari Ibnu 'Umar dengan isnad yang tidak ada apa-apa, ya'ni boleh diterima.
Perkataan beliau itu tidak benar sekali, lantaran telah terdapat pada isnadnya seorang yang bernama Sulaiman bin Musa Al-Asydaq, sedang hal dia itu telah menjadi pembicaraan di antara ulama-ulama ahlul-hadiets, ya'ni sebagian mereka ada yang melemahkan dia, dan yang tidak. Lantaran yang demikian itu, riwayatnya tidak boleh diterima.

Beginilah menurut cara qaidah ilmu hadiets.

Hadiets yang tersebut diriwayatkan pula oleh Imam Aba Dawud dari 'Utsman bin Abil-Ash, akan tetapi isnadnya itu putus, dan diriwayatkan pula daripadanya oleh Imam Thabranie, dan terdapat pada isnadnya seorang yang tidak terkenal, dan diriwayatkan pula oleb Imam 'Ali bin 'Abdul-Aziz dari Tsauban, akan tetapi pada isnadnya ada seorang yang bernama
Hashieb bin Jahdar, padahal dia itu tidak dipercaya riwayatnya oleh ahlulhadiets.

Imam Malik, ada meriwayatkan hadiets tadi dari 'Abdullah bin Aba Bakr yang ia itu seorang tabi'i.
Jadi, kalau begitu, riwayatnya itu mursal.

Pendek kata tidak ada hadiets yang shahih yang berhubungan dengan masalah yang tersebut, hanya hadiets yang diriwayatkan oleh Imam Al-Haitsami dari 'Abdullah bin 'Umar dengan lafazh sebagaimana hadiets yang di nomor 1, yang mana sesudah itu, Imam Al-Haitsami ada berkata
artinya: Orang-orang yang meriwayatkan hadiets ini boleh dipercaya.

Penulis berkata: Kalau hadiets yang diriwayatkan oleh beliau itu memang sungguh shahih, maka sabda "Tidak boleh menyentuh Quran melainkan orang yang thahir", itu masih menjadi pembicaraan yang amat hebat sekali lantaran perkataan "thahir" itu dikatakan musytarak, yaitu satu perkataan yang mempunyai beberapa arti yang berlainan:

1. Orang yang tidak berhadats kecil itu disebut "thahir" (bersih).
Lihat keterangan di bawah ini:

Artinya: Telah berkata Ibnu 'Umar: Adalah Nabi saw. itu berwudlu pada tiap-tiap shalat, maupun beliau itu thahir atau tidak thahir. (HSR. Al-Jama'ah, melainkan Muslim).

Kalau kita ambil arti ini, jadi hadiets itu artinya begini:
Tidak boleh menyentuh Quran, melainkan orang yang tidak berhadats kecil.

2. Orang yang tidak junub itu disebut "thahir" (bersih), lantaran Allah telah berfirman:
Artinya: Jikalan kamu itu berjunub maka mandilah. (Q. A1-Maidah 6)

Jadi, orang yang thahir itu orang yang tidak berjunub.
Kalau kita ambil arti ini, niscaya hadiets itu berarti begini:
Tidak boleh menyentuh Quran, melainkan orang yang tidak berjunub.

3. Orang yang badannya bersih daripada najis itu, menurut keterangan ijma', disebut "thahir" (bersih).
Jadi, kalau kita ambil arti yang begini, hadiets itu berarti begini:
Tidak boleh menyentuh Quran, melainukan orang yang badannya tidak najis.

4. Orang yang beragama Islam itu dikatakan "thahir" (bersih), lantaran dia itu tidak musyrik, oleh karena Tuhan Allah menyebut orang musyrik itu najis. Inilah firmanNya:
 
Artinya: Orang-orang musyrik itu tidak lain, melainkan najis. (Q. Al-Baraah 28)

Ada lagi riwayat:

Artinya: Dari Huzaifah Ibnu-Yaman, bahwa Rasulullah saw. itu berjumpa dengan dia, sedang dia itu berjunub, lalu die menjauhkan diri daripadanya, kemudian ia berkata: Saya tadi ada berjunub. Maka beliau bersabda: Sesungguhnya orang Islam itu tidak najis. (HSR. Al-Jamaah, melainkan Bukharie dan Turmudzie)

dan
Artinya: Dari Abu Hurairah, bahwa Nabi saw. pernah berjumpa dengan dia pada suatu jalan di Madinah, kemudian dia menjauhkan diri daripadanya dan ia pergi, terus mandi, kemudian beliau bertanya: Ya, Abu Hurairah! Kemana engkau tadi? Jawabnya: Saya tadi berjunub, dan saya tidak suka duduk dengan tuan sedang saya itu tiada bersih. Maka beliau bersabda: Subhanallah! Sesungguhnya orang mumin itu tidak najis. (HSR. Al-Jamaah)

Kalau kita ambil arti yang begini ini, jadi hadiets ini berbunyi begini:
Tidak boleh menyentuh Quran, melainkan orang muslim (atau mumin).

Dari keterangan yang tersebut itu, kita bisa mengetahui, bahwa perkataan "thahir" itu artinya tidak tertentu, ya’ni boleh jadi artinya itu, orang yang tidak berhadats kecil, atau yang tidak berjunub, atan orang yang tidak najis badannya, atan orang yang muslim atau mumin.

Maka dari itu perkataan thahir itu tidak boleh ditentukan artinya dengan salah satu perkataan yang tersebut, melainkan harus ada keterangan, dan sekiranya tidak ada keterangan dan Quran atau hadiets yang menentukan arti perkataan "thahir", maka hadiets itu tidak boleh digunakan buat tidak boleh menyentuh Quran dengan tidak berwudlu.

Demikianlah menurut keterangan qaidah ilmu ushululfiqh.

Adapun firman Allah yang tersebut di atas itu sambungannya begini:
Artinya: Sesungguhnya itulah Quran yang mulia, yang di Kitab yang tersembunyi (ya’ni Al-Lauhil-Mahfuzh) yang tidak disentuh, melainkan oleh mereka yang dibersihkan, yang turunnya itu dari Tuhan bagi sekalian alam. (Q. Al-Waqiah, 77-80)

Tafsirnya:
Lafazh muthahharun itu menurut keterangan yang quat ma’nanya ialah malaikat.

Jadi, firman Allah:

Itu artinya: Yang tidak disentuh, melainkan oleh malaikat.

Ayat ini menolak perkataan orang-orang kafir yang menuduh, bahwa Quran itu diturunkan kepada Nabi saw. oleh syaithan, ya’ni bukan dari Tuhan.

Lantaran itu Allah lantas menurunkan ayat itu.

Dengan keterangan yang tersebut, bisa diketahui dengan jelas, bahwa di antara ayat itu dan hadiets tadi tidak ada perhubungan apa-apa.
Md. Mm.

¹ A. Hassan
² Pembela Islam
Buku: 1
Halaman: 48-52
Penjawab: Moh. Ma'sum

Tidak ada komentar:

Posting Komentar