Laman

Sentuh/Pegang Quran tanpa Wudlu

SOAL:
Di dalam kitab Sirajul-Munir terdapat hadiets:
itu sanadnya ada shahih, bagaimanakah betulnya dan manakah yang quat?

JAWAB:
Hadiets itu di sanadnya ada seorang yang lemah, lantaran itu maka Imam Nawawi dan lain-lain ahli hadiets menganggap hadiets itu lemah.

Menurut qaidah ahli hadiets, bahwa:
Artinya: Celaan itu didahulukan daripada pujian.

Maqsudnya, bahwa salah satu dari orang-orang yang meriwayatkan satu hadiets itu, kalau dicela oleh satu ahli hadiets, tetapi ada pula lain ahli hadiets memandang orang itu tidak tercela, maka perkataan orang yang mencela itulah yang dipakai; dan perkataan orang yang memuji itu tidak dipakai. Sebabpun dipakai perkataan orang yang mencela, karena ia ada menunjukkan kecelaan orang yang ia cela, umpama orang itu suka dusta, suka lupa dan sebagainya.
Adapun pemuji itu terus memuji orang yang tercela tadi, ia tak tahu yang orang itu suka dusta, suka lupa dan sebagainya.

Maka hadiets:
tadi, Imam Nawawi dan lain-lainnya menganggap lemah, lantaran satu dari rawinya ada tercela.
Hal ini tidak diketahui oleh satu golongan, maka lantaran itu mereka anggap hadiets itu shahih.

Misalnya:
Ada seorang tertuduh yang ia mencuri.
Orang ini tentu dibawa ke hadapan hakim. Hakim nanti bertanya: Adakah saksi yang tahu orang ini mencuri?
Kalau ada saksi yang cukup, tentu hakim menghukum orang itu sebagaimana mestinya, walaupun di waqtu itu ada seribu orang berkata: Orang ini baik.

Dengan keterangan ini cukuplah rasanya untuk menerangkan ketidak-shahan hadiets itu.


Sekarang marilah kita pandang hadiets itu sebagai hadiets yang shah, lalu kita fikirkan ma'nanya.
Artinya: Tidak akan (atau tidak boleh) menyentuh Quran melainkan orang yang "thahir". (HR. Al-Atsram)

Menurut ilmu "ushul fiqh", perkataan "thahir" itu dikatakan "musytarik", yaitu satu perkataan yang mempunyai beberapa arti yang berlainan:

1. Orang Islam dikatakan "thahir" (bersih), lantaran ia bukan musyrik, karena orang musyrik itu Tuhan katakan najis. Seperti firman Allah:
Artinya: Orang-orang musyrik itu tidak lain melainkan najis (kotor). (Q. Al-Bara'ah 28)

Dan sabda Rasul:
Artinya: Orang mu'min itu tidak najis. (HR. Muslim).

Kalau kita ambil arti ini, niscaya hadiets ini berma'na begini:
Tidak boleh menyentuh Quran melainkan orang mu'min.

2. Orang yang bersih badannya daripada najis, dinamakan "thahir" (bersih) karena telah diterima dan disetujui oleh sekalian ulama, bahwa orang yang tidak bernajis badannya itu dinamakan "thahir".

Kalau kita ma'nakan hadiets tadi menurut arti ini, tentulah berbunyi begini:
Tidak boleh menyentuh Quran melainkan orang yang bersih badannya daripada najis.

3. Orang yang badannya bersih daripada hadats besar, dinamakan "thahir" (bersih), karena sekalian ulama bersetuju mengatakan, bahwa orang yang bersih daripada hadats besar itu "thahir".

Kalau kita ambil arti ini, tentulah hadiets itu berma'na:
Tidak boleh menyentuh Quran, melainkan orang yang bersih badannya daripada hadats besar.

4. Orang yang bersih badannya daripada hadats kecil, dinamakan "thahir".
Kalau kita artikan hadiets itu menurut arti yang baru tersebut ini, niscaya berma'na:
Tidak boleh menyentuh Quran, melainkan orang yang bersih badannya daripada hadats kecil.

Dari apa yang tersebut itu, kita sudah dapat tahu, bahwa perkataan "thahir" itu sekurangnya ada mempunyai empat arti.

Maka sekarang perlu pula kita fikirkan satu persatunya supaya kita dapat tahu manakah arti yang mesti dipakai, karena kalimah yang "musytarak" (yang mempunyai beberapa arti) seperti perkataan "thahir" itu, tidak boleh kita tentukan artinya itu atau ini melainkan dengan keterangan.

Yang pertama, "thahir" itu artinya: orang mu'min. Jadi boleh difaham, bahwa orang kafir tak boleh menyentuh Quran.

Bukan ini arti yang dimaqsudkan oleh hadiets itu, karena Rasulullah pernah mengirim surat kepada raja-raja kafir dengan memakai ayat-ayat Quran. Kalau sekiranya orang kafir tak boleh memegang Quran, tentu Rasulullah tidak menulis surat dengan pakai ayat-ayat Quran.

Tentang ini ada ulama berkata, bahwa kalau satu dua ayat bercampur dengan suratan yang lain-lain tidak mengapa, ya'ni boleh disentuh, walaupun oleh si kafir.
Pemandangan ulama yang tersebut itu tidak betul, karena tidak ada keterangan, hanya dengan fikiran saja.

Yang kedua, "thahir" itu, artinya: orang yang bersih badannya daripada najis. Jadi, boleh difaham bahwa orang yang badannya bernajis itu tidak boleh menyentuh Quran.

Artinya ini juga bukan yang dimaqsudkan oleh hadiets itu, karena sekiranya betul begitu, tentu Rasulullah tidak kirim surat kepada raja-raja kafir dengan menggunakan ayat-ayat Quran, karena raja-raja itu sudah tentu tidak menjaga dirinya daripada najis-najis sebagaimana kita orang Islam.

Yang ketiga, "thahir" itu artinya: orang yang badannya bersih daripada hadats besar.
Jadi, boleh difaham, bahwa orang berhadats besar tidak boleh menyentuh Quran.

Arti ini juga tidak betul! Yaitu, bukan yang dimaqshudkan oleh hadiets itu, karena kalau betul begitu, tentu Rasulullah tidak kirim surat kepada raja-raja kafir dengan pakai ayat-ayat Quran, lantaran raja-raja itu tentu tidak bersih daripada hadats besar, sebagaimana yang dimaqshudkan oleh Islam.

Yang keempat, "thahir" artinya: orang yang bersih badannya daripada hadats kecil. Jadi, boleh difaham bahwa orang yang tidak berwudlu', tidak boleh menyentuh Quran.

Faham ini juga tidak betul, dan sebab-sebabnya sama dengan sebab yang tersebut di arti yang kedua dan ketiga bagi perkataan "thahir" yang di atas itu.

Tambahan pula kita telah ketahui, bahwa Nabi kita ada mempunyai beberapa penulis wahyu, tetapi tidak pernah kita dengar dan tidak ada satupun riwayat yang menunjukan, bahwa salah seorang daripada mereka itu pernah pergi mengambil wudlu' waqtu hendak menulis wahyu, sedang menurut adat, tak dapat dikatakan, bahwa shahabat-shahabat Nabi selamanya berwudlu'.

Ibnu 'Abbas, As-Sya'bi, Ad-Dlahhak, Zaid bin Ali dan beberapa imam-imam lagi menganggap, bahwa menyentuh Quran itu tidak perlu dengan wudlu'.

Menurut keterangan-keterangan yang kita unjukkan di atas itu, nyata bahwa sekiranya mau juga kita katakan hadiets itu shah, maka perkataan "thahir" (bersih) itu tak dapat ditentukan salah satu artinya dengan pasti, karena tiap-tiap satu daripada empat artinya itu dapat dibantah.

Sekarang terpaksa kita mencari lain dari arti untuk hadiets itu.

"La-yamassu" itu artinya yang ashal ialah tidak akan menyentuh. Tetapi boleh juga diberi arti tidak boleh menyentuh, sebagaimana yang tersebut di atas tadi.

Adapun perkataan "yamassu" saja itu artinya: menyentuh. Menyentuh ini boleh diartikan sentuh dengan tangan terbuka, dengan tangan berlapis kain, dengan badan; dan menurut Quran ada juga artinya itu bersetubuh; dan juga perkataan "menyentuh Quran itu" boleh diartikan: beriman kepada Quran.

Kalau diambil arti ini, niscaya hadiets itu berma'na: Tidak akan beriman kepada Quran melainkan orang yang bersih.

Maka perkataan "bersih" di sini perlu pula dikasi arti yang lain, yaitu: "orang yang bersih hati".

Jadi bersihnya arti hadiets itu:
Tidak akan beriman kepada Quran melainkan orang yang bersih hatinya.

1. Hadiets itu, menurut riwayat, tidak shah. Walaupun ada orang mengatakan shah, tetapi tidak boleh diterima, lantaran orang-orang yang anggap shah itu tidak tahu, bahwa salah satu dan rawi hadiets itu orang yang dipandang lemah oleh ahli-ahli hadiets.

2. Sekiranya mau juga dikatakan hadiets itu shah, maka artinya tak dapat ditentukan untuk berwudlu' buat menyentuh Quran.

3. Hadiets yang di dalam khilaf tentang shahnya itu, tak boleh dijadikan alasan untuk mengharamkan sesuatu.

4. Orang yang menyentuh Quran itu, kalau perlu bersih badannya daripada najis, daripada hadats besar, daripada hadats kecil, tentulah Rasulullah tidak kirim surat kepada raja-raja kafir dan musyrik dengan pakai ayat-ayat Quran, karena raja-raja itu sudah tentu tidak bersih badannya daripada hadats besar, hadats kecil dan najis, sebagaimana yang dikehendaki oleh Islam.

Keterangan yang kita beri di atas itu, rasanya sudah cukup untuk menerangkan, bahwa memegang Quran itu tidak perlu kepada wudlu’, maka sekiranya, ada saudara-saudara yang bisa kasi keterangan yang cukup tentang perlu wudlu’ untuk memegang Quran, kita akan terima dengan segala senang hati.
A.H.
Buku: 1
Halaman: 43-48
Penjawab: A. Hassan

1 komentar: